Anyeong!

Hai para pembaca!

Terima kasih sudah berkunjung di posting-an ini. Seperti yang kalian tahu, tulisan ini ditulis untuk menyelesaikan tantangan dari #Blogger’sChallenges untuk topik ketujuh belas. Topik ini datang dari diriku sendiri.

Bicara tentang permasalahan pendidikan Indonesia, waah banyak sekali. Semua bermasalah, haha. Jadi, aku ingin melakukan perbandingan antara masalah yang kupikirkan dengan masalah yang dipikirkan orang lain mengenai pendidikan di Indonesia. Apakah sama atau berbeda? Apakah yang lain sudah pernah merenungkannya dan mencari akar permasalahan serta solusinya? Jika ya, aku ingin tahu solusinya, jika belum, mungkin kita bisa memikirkannya bersama-sama.

Sejujurnya aku pengen buat esai, tapi…. Gaya tulisanku masih seperti ini.

Sebenarnya aku pengen melakukan penelitian resmi, tapi…. Skripsi aja masih jalan-jalan. Jadinya, um, kalian nikmati aja tulisanku yang sederhana ini ya.


  1. FENOMENA CONTEK-MENCONTEK

Siapa siswa yang tidak pernah mencontek seumur hidupnya, coba angkat tangan?

Sepertinya tidak ada.

ILUSTRASI

Guru: Selesaikan tes ini dalam waktu satu jam. Kalo ada yang nggak ngerti, silakan tanya. Jangan ribut!

Siswa: Bu, boleh nyontek?

Guru: Boleh, tapi jangan ketahuan saya ya.

Siswa: Oke bu!

APA ITU MENCONTEK?

Mencontek ini banyak sekali ragamnya. Mulai dari bertanya jawaban pada teman, melihat kertas jawaban hingga membuka buku saat diberikan tes atau ujian. Intinya, jawaban yang dikerjakan tidak murni dari pikiran siswa itu sendiri. Jawaban yang diberikan siswa yang mencontek tidak benar-benar merepresentasikan pengetahuannya. Ini jelas suatu masalah dalam pendidikan karena alasan utama dilakukan sebuah tes adalah untuk melihat seberapa jauh kemampuan siswa mengenai materi yang diajarkan (apakah siswa mengalami kesulitan hingga perlu diadakan pengulangan materi atau perbaikan (remedi), atau pemahaman siswa sudah baik, hanya perlu penguatan (pengayaan) serta menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun strategi pembelajaran selanjutnya.

KENAPA SESEORANG MENCONTEK?

Banyak sekali penyebabnya siswa mencontek:

  1. Nggak belajar
  2. Nggak paham pelajaran
  3. Pengen dapat nilai tinggi secara instan
  4. Nggak percaya dengan kemampuan diri
  5. Nggak mau ribet
  6. Dikasih kesempatan mencontek

Dari enam poin di atas, lima di antaranya berasal dari siswa dan satu dari guru. Artinya, mencontek itu adalah kesalahan dari dua belah pihak tersebut. Ya kan?

Jujur ajalah, gimana ceritanya siswa bisa nyontek kalo gurunya nggak ngizinin?

Kalo ilustrasi di atas dianggap gila, aku ganti deh.

Guru: Selesaikan tes ini dalam waktu satu jam. Kalo ada yang nggak ngerti, silakan tanya. Jangan ribut! (Lalu main hp, tidur atau keluar kelas).

Jika guru tidak memperhatikan jalannya ujian, sudah bisa dipastikan siswanya akan mencontek (Indonesia gitu lho!)

Benar nggak sih sikap guru yang seperti itu?

Jelas nggaklah! Masa nyontek dianggap benar sih?

Tapi kenyataannya gitu kan? Mencontek dianggap lazim, tahu sama tahu. Kalo siswa nggak dikasih kesempatan nyontek, nilainya anjlok. Guru ribet merekayasa nilainya supaya cantik dan memuaskan. Siswa gagal, guru lebih gagal.

Semua orang takut dianggap gagal ya kan?

Jika ada guru yang idealis, maka semesta mencibir, “Alah, sok suci,” “Sok benar,” “Kayak nggak pernah nyontek aja dulu,” “Eh, kita dulu UN juga dibantu kok,” “Tuh kan, pening sendiri nilai siswanya jelek,” “Ntar uang nggak cair kalo sekolah kita sendiri yang jatuh.”

Complicated. Serba-salah.

Namun di sini aku ingin memberikan pernyataan keras: Mencontek itu adalah upaya seseorang untuk gagal. Mungkin efeknya tidak terasa saat melakukannya, namun ia seperti bola salju, semakin sering mencontek, kamu membiarkan otak semakin tumpul sehingga hanya menunggu satu Boom! Maka kamu akan terkejut bahwa selama ini, setelah menempuh pendidikan bertahun-tahun, kamu ternyata tidak belajar apa-apa. Untuk guru yang masih membiarkan siswanya mencontek, jangan berharap sistem pendidikan Indonesia bisa berubah di masa depan, karena kita menciptakan orang-orang yang tidak jauh berbeda dengan kita (bahkan mungkin kualitasnya semakin memburuk karena mereka sangat berleha-leha).

SALAH SIAPA?

Ya, semuanya salah. Fenomena ini salah semua orang yang terlibat. Salah pemerintah yang terlalu banyak nuntut. Salah sekolah yang tidak menindak keras. Salah guru yang nggak bisa membuat siswanya belajar dengan baik. Salah keluarga dan masyarakat yang menuntut anak untuk dapat nilai tinggi. Salah anak, ngapain sekolah kalo nggak mau belajar!

SOLUSI

Aku akan menceritakan dua pengalaman seru mengenai praktek ujian di kelas dari sudut pandang siswa yang mungkin bisa dijadikan solusi untuk permasalahan ini.

Satu

Saat kelas 1 SMA aku memiliki guru Sosiologi yang keren. Memang terkenal killer, namun kalo mau jujur pembelajarannya sangat mengasyikkan. Ketika satu bab selesai dipelajari (aku nggak bisa menceritakan the whole strategy-nya di posting-an ini ya), ia mengadakan ujian. Ujian dibuat dua gelombang (karena siswanya 40, 20 orang di satu jam pertama lalu 20 orang di jam selanjutnya) sehingga kelas terlihat lengang. Ia meminta kami menyediakan kertas, pulpen dan stip X di atas meja tanpa alas dsb. Lalu, ia memberi petunjuk bahwa dia akan memberi 5 soal di mana kami harus membuat uraian. Dia menjelaskan teknis bahwa dia akan membaca soal dan kami langsung menjawabnya di kertas tersebut. Satu soal hanya diberi waktu sekitar 2-5 menit untuk dijawab. Wah, detik-detik terasa sangat berharga. Otak berpacu. Keadaan hening. Semua siswa hanya fokus menulis dan menulis saja. Yang nggak belajar bakal mati! Hahahahahhahahaha. Setelah soal kelima dikerjakan (25 menit), beliau memberi waktu 5 menit untuk menyempurnakan jawaban namun tidak boleh menoleh ke kanan-kiri, jika ketahuan, kertas akan langsung dikoyak (artinya nilai nol) dan itu bukan sekedar omong kosong! Selesai ujian, beliau meminta kami menelungkungkan kertas jawaban dan meletakkannya di sudut meja lalu kami boleh meninggalkan kelas. Setelah ujian, minggu depannya kami membahas soal-soal tersebut bersama-sama dengan mendiskusikan beberapa jawaban terbaik.

Ringkasan:

1 jam pelajaran 45 menit.

5 menit untuk mengeluarkan beberapa siswa dan merapikan posisi peserta ujian.

5 menit beliau memberi arahan tentang proses ujian.

25 menit untuk siswa mengerjakan 5 soal (guru mendikte soal dan memberi waktu 5 menit per soal).

5 menit penyempurnaan jawaban.

5 menit untuk mempersilahkan siswa keluar kelas lalu beliau mengumpulkan lembar jawaban.

Efektif sekali rasanya. Saat nilai keluar aku merasa puaaaaas syekali dengan hasilnya, aku merasa benar-benar harus belajar dan memahami pelajaran. Temen-temen yang lain juga ngerasa gitu. Selain itu, kami jadi aktif di kelas untuk bertanya apapun tanpa segan supaya pas ujian nggak kesulitan.

Dua

Sebelumnya kalian perlu baca tulisanku yang berjudul Guru Muda?

Di situ, sir Rama melakukan pre-test untuk melihat sejauh mana kemampuan siswa dalam belajar bahasa Inggris. Sejak awal dia udah curiga kalo siswanya bener-bener nggak tahu banyak tentang bahasa Inggris karena mereka tidak bisa menjawab sapaan sederhana. Ia memberi sejumlah soal yang tampak sangat remeh dengan kebebasan sebesar-besarnya pada siswa untuk mengerjakan soal. Boleh buka buku, lihat kamus, diskusi, mencari referensi ke perpustakaan atau internet. Dia memastikan jawaban siswa benar secara teori. Namun, yang tak terduga, ia bukan melihat jawaban di lembar buku mereka (yang sudah terkontaminasi), ia juga melakukan indirect assessment sehingga, dia meminta beberapa siswa untuk bergantian memberikan alasan mengapa jawabannya harus seperti itu. Secara tidak disadari siswa, ia mengajak siswa untuk berpikir bahwa segala sesuatu nggak hanya harus dikerjakan dengan benar, namun mereka memang punya pengetahuan di balik jawaban yang tertulis. Ia berusaha membuat siswa menyadari “makna sebenarnya” dari test tersebut dalam kehidupan sehari-hari siswa.


  1. GURU BELUM BERKUALITAS

Tilaar dalam bukunya Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21 mengatakan bahwa profesi guru (sebagai pendidik) tidak diminati oleh putera-putera bangsa terbaik.

Pahit sekali bukan?

Yak, pernyataan tersebut tidak bisa dianggap remeh. Ada benarnya. Bahkan banyak benarnya. Banyak orang yang sebenarnya tidak mau jadi guru. Guru bukan passion-nya. Menjadi guru itu dianggap remeh! Guru honor mau makan apa? Gajinya saja benar-bener di bawah UMR!

Jika ada seorang siswa cemerlang ditanya ingin jadi apa, jarang bangetlah dia menjawab, “Aku pengen jadi guru”.

Jika ada siswa yang cemerlang mengatakan “Aku pengen jadi guru,” maka guru dan orang tua justru berkata, “Jangan jadi guru! Sayang! Bagus jadi dokter, akuntan atau pengusaha.”

Jika ada siswa yang biasa-biasa aja plus bingung mau jadi apa, maka orang-orang berkata, “Udah, coba aja jadi guru, gampang kok. Kalo nggak bisa negeri, swasta juga banyak.”

Jika ada yang takut menjadi guru karena merasa guru itu merupakan sebuah profesi yang sangat mulia dan harus memiliki kebijaksanaan yang luar biasa, maka orang di sekitar akan mengatakan, “Nggak usah takut. Banyak guru tapi nggak pintar kok! Si A bisa jadi guru, PNS lagi, padahal dulu dia nggak ada apa-apanya.”

Menjadi guru itu gampangan, semua orang bisa jadi guru, nggak perlu sekolah tinggi-tinggi, asal ada lowongan bisa kok ngelamar. Toh yang S-1 juga bakal jadi guru honor!

Banyak orang lupa, guru itu adalah profesi.

Banyak orang lupa, pendidikan adalah tolok ukur kemajuan suatu bangsa.

Banyak orang lupa, menjadi guru merupakan bentuk amal jariyah.

Banyak orang lupa, pendidikan merupakan investasi masa depan. Resikonya tidak seperti kematian. Namun lebih mengerikan. Karena kesalahan kita akan tetap hidup bertahun-tahun lamanya. Dan akan kita wariskan ke anak cucu.

SOLUSI

Sebuah pengumuman:

Dicari, guru profesional dengan kemampuan teori dan praktek yang baik. Bersedia untuk belajar dan dievaluasi. Gaji awal 10 juta per bulan (belum termasuk uang transport dan makan). Dinyatakan lulus dari proses seleksi yang ketat. Gaji akan terus naik bila berprestasi.

Nah ini solusinya, gaji guru ditinggiin! Haha. Jadikan guru benar-benar profesi yang prestisius bukan sekedar pilihan akhir. Pemerintah nggak perlu terlalu memberatkan di masalah perangkat pembelajaran, wkwkwk. Evaluasi aja yang ditingkatkan secara kualitas! Kalo belajar profesi kependidikan pasti ngertilah job description masing-masing pihak. Supervisor nggak hanya jabatan, namun benar-benar dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Pejabat yang berkiprah di dunia pendidikan jangan korupsi aja, membangun juga lah. Ujian PNS nggak usah pake soal-soal nggak penting itu! Suruh aja guru ngajar beneran, wkwkwk.

Ngomel atau curhat Wa?

Maaf ya, solusi di atas khilaf. Tapi beneran juga sih sebenarnya.

Okelah, aku serius. Menurutku solusi untuk mengatasi permasalahan guru tidak profesional sangat banyak, misalnya dilakukan pelatihan-pelatihan intensif kepada guru-guru. Workshop, seminar, dsb. Namun memang yang paling penting, gaji guru ditinggikan. Guru jangan sampai miskin. Gimana dia bisa fokus mendidik dan mengajar jika masih memikirkan besok makan apa? Besok bisa hutang di mana lagi?

Solusi utamanya sangat sederhana, yaitu seleksi secara adil (benar-benar melihat kemampuan dan keterampilan seorang apakah ia mampu menjadi guru yang baik di kelas)!

Seorang siswa yang ingin berkuliah demi menjadi guru bukan hanya di tes melalui ujian seleksi masuk bersama. Perlu dilihat motivasinya, keadaan psikologisnya dsb. Setelah itu, mereka (calon guru) dididik oleh pendidik yang bukan sekedar bergelar magister atau doktor bahkan profesor, namun mereka yang benar-benar berjiwa seorang guru. Seseorang intelektual yang mampu menginspirasi calon guru untuk menjadi guru yang baik. Teori bisa dipelajari, namun kebijaksanaan perlu diasah setiap hari.

The mediocre teacher tells. The good teacher explains. The superior teacher demonstrates. The great teacher inspires. –William Arthur Ward

Sekolah harus benar-benar mencari guru yang berkualitas. Caranya bisa dicontoh dari sistem rekrutmen bimbel-bimbel atau sekolah swasta yang bagus. Mereka merekrut orang seperti sebuah perusahaan. Semua boleh melamar, namun hanya orang-orang terbaik yang dipekerjakan. Jika belum memenuhi kriteria, silakan coba lagi. Jika dipekerjakan, guru harus sering dievaluasi oleh para profesional di bidang pendidikan. Ada diskusi mingguan untuk membahas permasalahan di sekolah. Mungkin terdengar ribet ya, tapi sebenarnya nggak. Makanya aku bilang di awal, profesi guru itu harus diyakini prestisius dan digaji tinggi, sehingga para pelamar (guru) berupaya sekeras mungkin menjadi guru yang baik. Setelah lulus pun dia harus terus belajar agar hasil evaluasinya baik.


  1. SISWA TIDAK PUNYA MOTIVASI BELAJAR

Tuntutan kurikulum Indonesia sangat luar biasa! Kompetensi intinya aja, kalo bener-bener dihayati bisa bikin merinding.

KI 1: Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

KI 2: Menghayati dan mengamalkan perilaku  jujur,  disiplin,  santun,  peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai),  bertanggung jawab, responsif, dan pro-aktif,  dalam berinteraksi secara efektif sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan internasional.

KI 3: Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.

KI 4: Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.

Tapi, coba tanyakan pada siswa yang baru pulang sekolah mengenai pelajarannya hari itu.

A: Tadi belajar apa di sekolah?

B: Banyak.

A: Iya, banyak, tapi contohnya apa?

B: Matematika, kimia, fisika.

A: Belajar apa aja tadi matematikanya?

B: Adalah, banyak pokoknya.

A: Iya materi apa?

B: Hmm, apa tadi yaa. Aljabar kayaknya.

A: Terus aljabar itu apa?

B: Aduh, baru mulai belajar itu jadi masih dikit tadi, belum ngerti.

A: Terus ngertinya yang mana?

B: Ahh, banyak nanya pun.

Sedihkan? Apanya yang memahami, menerapkan, menganalisis? Ingat aja nggak, haha. Itu artinya apa? Nggak minat belajar.

Banyak teori belajar mengajar yang menekankan pada pembelajaran yang menyenangkan dan pembelajaran yang autentik (dapat dirasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari, tak sebatas teori). Namun, prakteknya?

Kapan sih siswa enjoy belajar?  Kapan sih seseorang pengen belajar?

Saat PPL, aku pernah menanyai beberapa siswa dan menemukan fakta menyedihkan.

Aku: Kalo di sekolah, sukanya belajar apa?

Siswa: Nggak ada, Miss.

Aku: Ah, masa sih nggak ada yang disukai?

Siswa: Iya Miss, belajar itu nggak enak. Gurunya ntah hapa-hapa.

Aku: Tapi masa nggak ada satu pun yang disukai sih? Bahasa Inggris misalnya, atau penjaskes?

Siswa: Umm, suka jam istirahat Miss.

Aku: Itu bukan pelajaran oii. Jadi kalo nggak suka belajar buat apa sekolah?

Siswa: Supaya dapat jajanlah Miss, kalo di rumah kena repet, disuruh bantu-bantu. Di sini bisa main-main, jumpa kawan.

SOLUSI

Sejak awal masuk, guru harus menjadi sosok yang eye-catching, interesting namun tegas. Kesan pertama itu penting!

Guru juga menjelaskan tentang aturan main selama pelajarannya (termasuk membuat siswa mengerti hak dan kewajiban mereka). Selain itu, berikan motivasi seperti keuntungan apa saja yang bisa mereka dapatkan di kelas itu selama pembelajaran berlangsung.

Guru harus mengetahui banyak hal terkait ilmu psikologi anak seperti level motivasi belajar siswa, gaya belajar, dsb. Aku pernah baca artikel Zenius mengenai Apa Sih yang Bikin Kita Termotivasi? Di situ, bang Wisnu, si penulis, memaparkan teori Edward Deci mengenai Self-Determination Theory yang membahas tentang 5 level motivasi.

motivasi-zenius
Sumber: Zenius.net/blog

Setelah mengetahui banyak hal, guru bisa menentukan teknik, metode, dan media pembelajaran. Dalam hal ini, guru memang dituntut untuk selalu berpikir kreatif. Intinya, guru harus membuat pembelajaran menyenangkan (dulu sudah pernah diperkenalkan pembelajaran PAIKEM –Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Siswa belajar tanpa disadarinya. Jangan kebanyakan teori tapi praktek.

Kenapa aku menekankan posisi guru sebagai penyebar motivasi?

Karena kalo masalah motivasi, aku sedikit behavioris, hahaha. Maksudku, kita nggak bisa menunggu siswa menjadi termotivasi untuk belajar. Guru harus memberikan rangsangan (stimulus) supaya mereka bisa membayangkan seasyik apa pembelajaran yang akan mereka dapatkan bersama kita! Untuk memotivasi siswa belajar kita memang perlu mencoba berbagai strategi. Jika gagal pada strategi A, ganti strategi lain. Nggak hanya melihat stimulus dan respon, kita juga perlu sering-sering melakukan penguatan (reinforcement). Di cerpen guru muda ini, aku juga menyusupkan contoh memotivasi siswa belajar yang dilakukan Sir Rama secara implisit.

Tapi, walaupun guru bekerja keras untuk memotivasi siswa, siswa juga harus sadar, kalo belajar itu demi kebaikan dirinya sendiri, bukan gurunya! Untuk siswa yang sedang galau karena merasa tidak diperhatikan, cobalah temui gurumu secara pribadi, ceritakan keluh kesahmu, kesulitanmu dalam belajar, sehingga guru bisa bertindak untuk membantumu.


Well, inilah tulisanku mengenai permasalahan pendidikan di Indonesia (setelah merenung panjang dan berdiskusi dengan beberapa orang). Semoga kalian tidak lelah membacanya, haha. Aku jadi sedikit agak menyesal sih menuntut ABC menulis minimal tiga permasalahan, karena aku saja menghabiskan banyak lembar Microsoft Word untuk menuliskan ini. Bagaimana pendapatmu mengenai tulisanku? Ada kritik atau saran? Nggak usah segan berkomentar yaaaaa..