Oke, aku lagi di angkot menuju Pinang Baris. Aku mau pulkam (pulang kampung, istilah aja sih soalnya rumahku nggak di daerah perkampungan) ke Berandan. 

Jarak dari kos ke Berandan itu kira-kira 3 jam kalo naik angkot. Rutenya, kos (daerah Pancing) menuju Pinang Baris kira-kira satu jam (hitung macet) dan dari Pinang Baris ke Berandan sekitar 2 jam. 

Dari Jalan Belat (alamat kosku di Pancing) aku harus naik angkot yang menuju ke Aksara. Setelahnya, aku harus naik angkot ke Pinang Baris. Biasanya sih aku naik 42 merah (RMC) ke Aksara lalu naik 65 kuning (KPUM). 

Nah, saat melewati Aksara, aku melihat sebuah kain menyerupai spanduk yang ditulis dengan cat merah terpacak kuat di dekat salah satu vitron. 

Bacaannya kira-kira menyuarakan untuk meminta pemerintah memperbaiki pajak Aksara seperti semula. Sayang, aku nggak sempat mencatat kalimat lengkapnya. Yang paling menonjol adalah sis kanan bawah yang bertuliskan HARGA MATI. 

Sebenarnya aku nggak ada niat nulis ini, tapi seperti biasa, kalo udah di angkot banyak banget ide-ide yang minta dituliskan. Jadi, daripada bosen di perjalanan, aku memutuskan untuk nulis di aplikasi WordPress ini. Tentunya setelah mengamati kondisi angkot yang aman untuk mengeluarkan hp.

Menurutku, sebagai salah satu orang yang tinggal di daerah Pancing selama lebih dari 4 tahun, keberadaan pajak Aksara itu penting banget. 

Aku masih ingat momen-momen awal kuliah, di mana hampir setiap hari aku pergi ke sana demi membeli barang-barang. Ember, jilbab, baju, rice cooker, dispenser, sapu, sepatu, kaos kali, semua deh pokoknya. Apalagi saat Ospek berlangsung, bah, segala pernak pernik carinya ya di pajak Aksara itu. 

Pajak Aksara bersebelahan dengan gedung Ramayana. Walaupun tempatnya nggak elit, tapi dua tempat itu sangat penting bagi masyarakat Pancing. 

Di pajak Aksara, harga barang bisa dibilang cukup murah apalagi kita bisa menawar harga. Sedangkan di gedung Ramayana, aku bisa ke toko buku Salemba untuk membeli alat tulis dan buku-buku bagus tanpa harus jauh-jauh ke Gramedia. 

Saat keduanya terbakar, aku sedang berada di Berandan. Aku dikabari oleh Hera (maklum, aku nggak ngikutin berita, haha). Kira-kira kami chatting-an seperti ini.

Hera: Wak, Aksara kebakaran lho.

Aku: Oh iya? Ya ampun. 

Hera: Susahlah ya kalo mau beli apa-apa.

Aku: Iya sih, tapi kan aku lagi di Berandan nih. Kan libur masih panjang.

Hera: Iya uga eaa.

Awalnya, aku ngerasa nggak begitu kehilangan karena kupikir walaupun terjadi kebakaran, ada kemungkinan pembangunannya lebih cepat dilakukan. Namanya pajak lho! Vital banget keberadaannya bagi masyarakat. Tapi ternyata, berbulan-bulan kemudian tempat itu dibiarkan begitu saja. Malah ada isu bahwa lahannya mau dibangun menjadi apartemen kayak Podomoro. Ada juga yang bilang bahwa kebakaran itu emang direncanakan supaya bisa dibangun bangunan lain gitu. 

Aku sendiri nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya, yang kuketahui pajak itu mengalami kebakaran menyeluruh dan hingga sekarang dibiarkan begitu saja. 

Dampak dari terbakarnya pajak Aksara sangat banyak. Aku bahkan nggak bisa ngebayangin gimana nasib orang-orang yang dulu mencari nafkah di situ. Pasti mereka merasakan masa-masa yang sulit. 

Lantas, apa sih efek dari kebakaran itu? 

Efek nyata yang kulihat saat ini adalah keadaan sekitarnya jadi kacau banget. Para pedagang mendirikan tenda-tenda di sepanjang jalan dan mengambil setengah porsi dari jalan sekitar situ. 

Jika sebelumnya jalanan bisa dilalui dua angkot, kini hanya bisa satu angkot saja. Hal ini membuat jalanan yang sering macet jadi selalu macet. 

Namun, mereka juga nggak bisa disalahkan sepenuhnya, karena lahan pajak Aksara itu emang bener-bener ditutup. Sedangkan mereka perlu berjualan supaya dapet uang. 

Selain itu, kemungkinan besar pendapatan mereka juga turun drastis. Menurutku ada beberapa alasan kenapa tenda pedagang tampak sunyi walaupun lokasinya tetap di sekitar pajak Aksara. 

Pertama, karena lokasinya tepat di jalanan. Gimana bisa asyik melihat-lihat barang kalo kita harus memperhatikan sekeliling. Nggak lucu kan kalo lengah sedikit aja terus diserempet angkot atau pengendara motor?

Kedua, tempatnya begitu terbuka. Aku pribadi agak nggak sreg gitu kalo milih-milih sesuatu terus harus fitting di situ. Masa iya, dilihatin pengamen, orang lalu lalang, supir dan penumpang angkot, pedagang minuman dsb.

Ketiga, nggak ada tempat parkir. Susah ya kalo mau nyari-nyari barang tapi bingung parkir di mana. Alhasil mood beli juga hilang.

Keempat, kemungkinan harga barang yang dijual semakin mahal. Alasannya sih karena sepi. Dulu, untuk beberapa barang, kita nggak perlu nawar lagi karena emang harganya udah pas, tapi kalo sekarang, barang apapun itu harus ditawar karena harganya udah aneh-aneh.

Aku sendiri, sejak pajak Aksara terbakar nggak pernah lagi belanja di sekitar situ. Hanya saja aku pernah nemenin temen beli sesuatu dan emang suasananya nggak asyik bangetlah. 

Kalo dulu aku bisa keliling nyari satu barang di beberapa tempat, sekarang jadinya males. 

Selain itu, jika ditanya, apa sih yang paling ngangenin dari dua bangunan itu (pajak Aksara dan Ramayana)? 

Aku bakal jawab ada dua hal. Pertama, kenyamanan saat membeli (padahal dulu juga nggak begitu nyaman sih, haha). Kedua, aku kangen sama Salemba, hiks. 

Yaaaa, sebenarnya alasan aku nulis ini adalah untuk mengenang Salemba, wkwkwkwk. 

Aku tuh ngerasa kangeeeen kali dengan keberadaan toko buku di dekatku. Apalagi harga alat tulisnya lebih murah daripada Gramedia dan pernak perniknya lengkap. Selain itu, koleksi buku-buku pelajarannya juga banyak (dan saat aku cari di Gramedia, nggak ada, haha).

Tiap aku ngelihat tumpukan buku di kamar dan nemu buku yang dibeli dari Salemba, aku jadi sedih gitu. Dulu, kalo aku minat sama satu buku namun memutuskan untuk nggak membelinya, aku berpikir seperti ini, “Ah, nanti-nanti kan bisa. Kalo lagi ada uang lebih aja, toh Salemba nggak ke mana-mana.”

Ternyata, oh, ternyata.. 

Kalau sudah tiada, baru terasa..

Bahwa kehadirannya sungguh berharga..

Sekian ceritaku mengenai pajak Aksara. Semoga pajak Aksara diperbaiki dengan baik. Masyarakat Pancing butuh pajak Aksara! Hidupkan lagi pajak Aksara!