Sebelum rapat divisi dimulai, Luna menghampiriku. Ia duduk di sampingku dan menatapku yang sedang serius membaca novel. 

“Cowok di novel selalu lebih baik kan?” Dia berbisik ke telingaku. 

Aku tersenyum mendengarnya, kata-kata itu persis seperti yang dikatakan Maisie dalam novel Typo karya Christian Simamora. Aku kembali membaca.

“Aku pengen ngomong sama kamu.” 

Aku terkejut mendengar ucapannya apalagi saat kulihat matanya sedikit berkaca-kaca. Dia serius.

“Ngomong apa?” 

“Jangan di sini. Kita keluar yuk.” 

Dia buru-buru pergi dan aku mengikutinya. 

Aku dan Luna bukan teman dekat. Aku mengenalnya sejak setahun yang lalu saat kami masuk organisasi yang sama. Namun, hanya sebatas itu.

Luna adalah gadis supel dan sangat ceria. Dirinya selalu menjadi pusat perhatian. Sebenarnya dia biasa saja, tidak begitu cantik, namun karena sikap dan pembawaannya yang asyik, dia cukup tenar di sini. 

Kami baru berbicara lumayan seru saat seminggu yang lalu ditugaskan untuk membuat tulisan bersama, meresensi sebuah buku. 

Mungkin karena kami membicarakan buku (yang merupakan kesukaanku), aku jadi begitu terbuka. Kami lantas berdiskusi banyak hal seputar buku, minat membaca, cara menulis resensi dan sebagainya. 

Aku tak menyangka dalam sekali duduk kami bisa begitu akrab. Kupikir Luna tipe gadis yang suka jalan-jalan dan bersenang-senang saja. Ternyata, dia memiliki minat yang besar dalam hal membaca, bahkan dia punya target bulanan dalam membaca buku. 

Aku hampir tidak percaya dengan fakta itu. Karena aku tak pernah melihat Luna membaca di sekret.

“Aku sengaja nggak mau baca di tempat umum. Kalo sedang di luar, aku berprinsip harus membuka diri. Membaca buku itu memang bagus tapi jika dilakukan di tengah keramaian, orang mengartikan kita tidak mau berteman.”

“Ehh, kok gitu?”

“Memang maksudnya nggak seperti itu, tapi orang mandangnya seperti itu.”

“Aku nggak setuju sih. Daripada bengong atau dengerin yang nggak penting yaaa mending baca. Kita bisa belajar banyak hal dari membaca.”

“Belajar kan nggak hanya dari buku. Dengerin orang ngomong juga bisa nambah ilmu. Ilmu pendekatan, hahaha.” Luna tertawa pelan, “Tapi kalo aku pribadi sih nggak mikir gitu kok. Bagiku semua orang asyik, tapi emang cara deketinnya beda-beda. Kalo prinsipku, siapapun orangnya, aku wajib bisa deket sama dia.”

Semenjak itu kami sering bergosip mengenai apapun. Ntah kenapa aku merasa nyaman bercerita bahkan berdebat dengannya. 

Nah, yang membuatku terkejut dan penasaran saat ini adalah sikap Luna yang tak seperti biasanya. Intonasi suaranya berbeda, matanya sayu, senyum pun dia kesulitan.

Kami duduk di bawah pohon yang agak jauh dari sekret.

“Menurutmu gimana sih caranya supaya bisa dicintai?” 

“Haaa?”Aku terbelalak mendengar pertanyaannya.

“Gimana supaya bisa dicintai?” Dia mengulangi pertanyaannya.

Aku terdiam. Baru kali ini ada seseorang yang nanya hal ini padaku. Memangnya aku kelihatan ngerti masalah cinta gitu? 

“Kenapa kamu pengen dicintai?” Bukannya menjawab, aku justru bertanya balik.

“Siapa sih yang nggak pengen dicintai?”

Iya juga yaa. Siapa sih di dunia ini yang nggak pengen dicintai? Kalo ada, tolol namanya. 

“Hmm.. menurutku sih, nggak ada caranya.”

Luna menatapku tajam, aku sampai ngeri melihatnya.

“Yah maksudnya, kamu nggak perlu ngelakuin apa-apa supaya dicintai orang lain. Cukup jadi dirimu aja! Biarkan orang melihat dirimu dan menyukaimu.”

Luna justru menangis. Lho? Memangnya aku salah ngomong ya? Bukannya jawabanku bisa dikatakan super sekali?

“Kenapa nangis? Bukannya kamu pengen dicintai? Ya kamu harus jadi dirimu sendiri lah, biarkan orang lain mencintaimu apa adanya.”

Luna terus menangis hingga sesak nafasnya. Aku bingung sekali namun kubiarkan dia mengeluarkan semua persediaan air matanya. Sepertinya Luna jarang menangis. Matanya bengkak hingga ia kesulitan membuka mata. 

“Aku nggak tahu apa aku harus cerita ini sama kamu. Sebenarnya aku punya masalah.”

Luna lalu bercerita bahwa dirinya sering merasa sangat tidak berharga. Dia tidak tahu dirinya yang ‘asli’ seperti apa. Selama ini dia hanya bersikap menyenangkan. Dia membaca banyak buku, mengamati banyak orang lalu membuat dirinya seperti yang diharapkan orang banyak. 

Dia menyapa terlebih dahulu, mengingat nama, tersenyum, mendengarkan dengan seksama, dan ikut serta dalam hal-hal menyenangkan. Dulu dia tidak seperti itu. Dulu berteman dengan banyak orang bukanlah sesuatu yang penting. Namun, keinginannya untuk bangkit dan menjadi bahagia membuatnya bersikap ceria. Ia percaya bahwa kalau bukan karena buku yang dibaca atau orang-orang hebat yang ditemuinya, ia akan menjadi Luna yang lama. 

Hanya saja, ada masa-masa dalam hidupnya, saat ia pulang ke rumah, menatap cermin di kamarnya, dia merasa tidak berarti apa-apa. 

Paginya ia memastikan perasaannya, namun kehangatan dari teman-temannya melunturkan prasangka itu. Hanya saja, perasaan itu muncul lagi saat ia menyadari bahwa tak ada laki-laki yang benar-benar tulus mendekatinya. 

Ternyata dia punya masalah dalam hal asmara. 

Laki-laki yang dekat dengannya selalu mundur teratur. 

Laki-laki pertama dalam sejarah percintaannya mengatakan bahwa dia sangat mencintai Luna, namun di saat yang bersamaan si lelaki berpacaran dengan perempuan lain.

Laki-laki kedua mengatakan Luna adalah sosok yang spesial namun dia menggoda perempuan mana saja.

Laki-laki ketiga mengatakan dirinya sangat menyayangi Luna, namun beberapa bulan kemudian dia meminta berteman saja karena dia bosan. Sayang namun merasa bosan. Sang lelaki mengatakan tidak ada yang salah pada diri Luna, hanya dia saja yang memang cepat bosan.

Laki-laki keempat mencintai Luna dan menganggap Luna sangat baik namun dia ditinggalkan begitu saja. 

Luna merasa bahwa dirinya tidak bisa membuat orang lain mencintainya. Jika seseorang mulai tertarik padanya, ntah bagaimana, ia tidak bisa mempertahankan seseorang itu untuk tetap di sampingnya. 

Kenapa dia seperti itu? Apakah dirinya tidak layak dicintai? Kenapa mereka selalu meninggalkannya?

Mendengar ceritanya, aku menghela nafas dalam-dalam. Seandainya aku menjadi Luna, aku juga mungkin akan sesedih itu. 

Aku juga heran, kenapa laki-laki sulit sekali mempertahankan seorang perempuan? 

Mereka tertarik, sayang bahkan jatuh cinta lantas pergi begitu saja? 

Kenapa laki-laki pengertian yang berusaha memahami hati perempuan hanya ada di novel? 

Kenapa hanya laki-laki di dalam novel yang bisa memelihara cintanya? Yang tidak bosan pada perempuannya? Yang tidak melirik perempuan lain? Yang bersungguh-sungguh dalam setiap ucapannya? 

Lantas, apa yang harus kukatakan pada Luna?

“Naaa.. jujur aku juga nggak tahu harus bilang apa. Aku ngerasa apapun yang kamu lakukan selama ini, yaah, setidaknya selama setahun ini di organisasi ini, adalah dirimu yang sebenarnya. Mungkin memang kamu yang sekarang bukan dirimu yang dulu, tapi aku pribadi suka sama sikap kamu. Menurutku kamu nggak berpura-pura kok,” Aku menatap rumput hijau di sekitar kami, “Dan mengenai masalah laki-laki..aku rasa kamu belum menemukan yang terbaik. Kamu harus yakin bahwa nantinya, akan ada laki-laki yang benar-benar cinta sama kamu dan nggak akan bosan denganmu. Yang akan selalu menganggap kamu unik dan luar biasa. Yang nggak akan nyia-nyiain kamu.”

Luna diam. Mendengarkan ucapanku. 

“Aku lucu banget ya kayak gini. Kenapa aku tiba-tiba sensitif kayak gini ya. Makasih yaa udah dengerin aku cerita. Aku juga sebenarnya percaya sama apa yang kamu bilang, tapi kadang ada masanya hatiku rapuh. Kayaknya ini efek kebanyakan baca novel romance.”

Ha??

“Yoss, berarti aku harus stop baca novel romance dulu. Kayaknya aku bakal baca non-fiksi aja seputar menajemen keuangan atau pengembangan diri,” Luna berdiri, menepuk-nepuk roknya yang sedikit kotor terkena tanah, “Ayok kita masuk, kayaknya rapat mau dimulai.”

Dia berdiri lalu berjalan menuju sekret meninggalkanku yang masih terduduk di sini. 

Aku bisa mengerti perasaan Luna. Dia nggak ingin memikirkan hal seperti itu namun kenyataan menggiringnya untuk percaya bahwa dirinya tidak dicintai. 

Jika saja mereka yang mudah dicintai namun selalu menyia-nyiakan cinta yang diberikan orang lain tahu betapa terluka hati gadis seperti Luna. 

Aku yakin ada banyak orang-orang di luar sana yang merasakan hal yang sama dengan Luna. 

Luna, maafkan aku menuliskan kisahmu ini. Tapi jangan khawatir, namamu kusamarkan.