Hai guys!

Tulisan ini kategorinya Obrolin, tapi isinya bukan tentang diskusi, kelas atau rapat Obrolin. Ini sebenarnya curhat yang sangat panjang, hahaha. 

Jadi, seperti judul di atas, aku akan belajar editing dengan mengisi posisi editor di Obrolin. Yey! Udah dari lama aku pengen terjun ke dunia editing tulisan seperti yang udah pernah kuceritakan di posting-an Harapanku 5 Tahun Ke Depan

Mulanya…

Aku sudah tertarik dengan dunia editing sejak lama. Mungkin sejak aku mulai menulis. Menurutku, penulis adalah editor pertama tulisannya. Dan kemampuan editing itu sangat mendukung penulis dalam menyampaikan gagasannya. 

Aku pernah baca artikel yang mengatakan bahwa editor tak hanya mengurusi masalah tata bahasa, namun tugas editor lebih dari itu. Editor yang hebat mampu mengubah tulisan ‘sampah’ menjadi ’emas’. 

Tak hanya itu, di industri penerbitan, selain menyunting naskah, ada juga editor yang bertanggungjawab langsung atas keberhasilan sebuah karya dari penulis yang ia edit tulisannya. Wow! Jika sebuah buku isinya bagus dan laris, popularitas tak hanya dimiliki oleh penulis namun editornya juga. 

Tujuanku saat ini…

Namun, tujuanku saat ini nggak muluk-muluk. Aku hanya ingin belajar bagaimana menyunting tulisan agar enak dibaca. Itu saja. Baik tulisanku dan tulisan orang-orang yang nantinya akan kuedit. Selain itu, lewat belajar editing ini aku juga bisa lebih memahami penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Untuk itu, aku berusaha untuk mengenal editing lebih jauh.

Yang Kulakukan…

Awal kuliah aku baru kenal yang namanya ‘toko buku’. Aku membeli buku yang membahas seputar editing (untuk saat ini aku baru menemukan dua, EYD dan 101 Dosa Penulis Muda).  Ada rekomendasi buku bagus atau ingin memberiku gratis? šŸ˜€

Selain itu, aku juga mencari tulisan-tulisan yang berkaitan dengan editing di Google. Menurutku, dunia editing itu masih tersembunyi. Masih sedikit tulisan yang membahas tentang editing dan contoh-contoh kasusnya. Jika ada contohnya, isinya cenderung seragam. Artikel-artikel yang ada pada umumnya hanya membahas kesalahan eja secara general. Bagaimana masalah kohesi dan koherensi tulisan? Aku pribadi belum menemukannya. 

Aku mengikuti beberapa blog milik editor (ini salah satu blog paling aktif: Catatan Editor), namun mereka juga tidak begitu rajin meng-update permasalahan editing. Ada yang punya rekomendasi blog aktif yang isinya tentang pengalaman mengedit tulisan per kasus? 

Contohnya bisa diambil dari blog Catatan Penerjemahan.

Aku kadang iri sama ranah terjemahan. Walaupun terjemahan juga terbilang belum cukup banyak di Indonesia, namun mereka (para penerjemah) punya blog yang isinya tentang contoh-contoh terjemahan yang mereka ambil langsung dari pengalaman menerjemah.

Mereka membuat posting-an yang pendek. Hanya membahas satu contoh kalimat. Bagaimana menerjemahkannya, hingga memolesnya. 

Posting-an pendek seperti itu lebih berkesan ketimbang posting-an lengkap yang sangat panjang. Karena, orang-orang awam sepertiku akan kelelahan membacanya dan belum bisa menangkap semua poin sekaligus. Alhasil, tidak banyak yang bisa diingat. 

Masalah editing ini susah untuk dipahami jika tidak dipraktekkan langsung, ya kan?

Maka…

Dalam upaya praktek, aku mencoba beberapa jalan. 

Aku masuk pers kampus saat awal kuliah dan bertahan hingga 3 tahun. Di situ, aku minta agar diajarkan dan diberikan kesempatan untuk menjadi editor (selain litbang), namun aku diberi jabatan sebagai layouter majalah pada tahun pertama dan redaktur pelaksana pada dua tahun selanjutnya. 

Walaupun aku jadi layouter, namun aku terpaksa merangkap jadi editor. Karena, saat me-layout aku nggak bisa membiarkan tulisan yang salah eja. Meskipun begitu, suara-suara sumbang pengkritik majalah tak henti bicara. 

Di pers kampusku itu, setelah majalah selesai cetak, kami diminta menjual 20 majalah per orang. Bagi orang yang penakut dan sensitif sepertiku, menjual majalah itu bukan perkara yang mudah. 

Alasannya banyak. Pertama, minat mahasiswa sekarang untuk membaca sangatlah minim. Kalaupun suka, mereka (macam bukan mahasiswa zaman sekarang, wkwkwk) cenderung memilih bacaan ringan. Kedua, majalah kami tidak berwarna dan komposisi teksnya terlalu banyak. Ketiga, menurut beberapa orang artikel yang disajikan nggak up to date. Keempat, lebih baik uang beli majalah dipake untuk beli jajan. 

Selain itu, ada satu lagi alasan yang bener-bener mengangguku yaitu ucapan mereka (yang mungkin hanya baca satu, dua artikel dari majalah pinjaman dari temannya) yang selalu mencaci editing tulisan. 

“Masa awal kalimat nggak huruf kapital sih?”

“Duh, masalah titik koma itu kan dasar banget. Kalian nggak bisa ngedit tulisan ya? Ngapain aja jadinya?”

Huft! Ini masalah besar dan sangat menyebalkan. Editor aktif yang bertugas untuk mengedit tulisan biasanya hanya satu (dari 3 orang) untuk 40 halaman majalah. Satu halaman majalah itu sekitar 2-3 halaman word! 

Bayangin gimana stresnya kami (anak redaksi)? 

Belum lagi, penulis berita itu banyak yang nggak ada ‘O’! Mereka sanggup kirim tulisan tanpa judul dan nama penulis ke email (telat sampe berbulan-bulan dari batas waktu). Tanda titik, koma dan huruf kapital nggak dipedulikan. Nggak usah bahas lebih jauh tentang kesinambungan dan keterkaitan antara satu kalimat dengan kalimat lain atau paragraf dengan paragraf lain. Ah, payah bilanglah!

Itu masih masalah editing, belum layouting-nya (gambar pendukung yang diberikan). 

Tahun kedua dan ketiga juga tidak lebih baik. Sebagai redaktur pelaksana aku harus membaca semua tulisan yang masuk, mengklasifikasikan tulisan ke dalam rubrik yang cocok, dan ikut membantu editor dalam mengecek editan. Yang walau sudah diedit tapi masih banyak tulisan yang tetap nggak enak untuk dibaca.

Lucunya, jika diajak berdiskusi masalah tulisan, mereka nggak berminat. Tapi, kalau main kartu, Uno, ular tangga, dsb, cepat kali responnya. 

Sudah. Sudah. Kalau diingat lagi, bisa emosi, hahaha. Intinya aku lelah dengan cinta bertepuk sebelah tangan itu. 

Lalu, aku memikirkan hal lain…

Yaitu, membentuk #Bloggers’Challenges. Aku ajak teman-teman terdekatku yang punya blog, Dwita, mas Arif dan mas Boy. Lalu, masing-masing dari kami ngajak teman lainnya sampe sekarang ada 12 orang. 
Kami menulis sesuai topik yang dilempar oleh salah satu di antara kami.  Setelah selesai, kami mem-posting-nya dan mempromosikan link tulisan tersebut di grup chat. Lalu, kami akan saling berkunjung dan mengkritik. 

Nih, komentar-komentar mereka di awal-awal kegiatan kami.

 



Seneng banget pas dapet kritikan masalah salah eja dan konten seperti ini. Namun, lama-kelamaan mereka jadi jarang ngomentari masalah salah ketik jadi akunya nggak ngerasa diawasi, wkwkwk.
Pengennya tuh ya, kalau pas posting, ada salah ketik, ya diingatkan (dengan cara yang sopan, wkwkwk). 

Keinginan itu tersimpan dalam hati namun belum menemukan jalan hingga…

Baru-baru ini aku ikut komunitas Obrolin. Aku suka visi dan misinya. Aku cocok dengan kegiataannya. Kemudian, sekitar dua minggu yang lalu kami mengadakan rapat via chat online yang membahas tentang web kami, Obrolin.wordpress.com. Lalu, diumumkan bahwa Tim Redaktur masih membutuhkan dua orang untuk menjadi editor. Aku langsung bertanya dan mengajukan diri (fyi, masih ada satu lowongan tersisa, lho). 

Jumat lalu kami rapat mengenai banyak hal. Kami mendiskusikan pedoman penyuntingan dan pembagian kategori serta hal-hal lain. 

Nantinya, selain mengedit tulisan yang masuk ke kategoriku, aku juga akan melakukan moderasi akhir bersama teman-teman redaktur lain di grup chat kami. Aku berharap kami bisa saling berbagi mengenai masalah editing tersebut. 

#

Sekian curhatku kali ini. Terimakasih sudah membaca. šŸ˜ŠšŸ˜ŠšŸ˜Š